tolong bantuin buat cerpen celengan ayam
B. Indonesia
septianantasia
Pertanyaan
tolong bantuin buat cerpen celengan ayam
1 Jawaban
-
1. Jawaban zezenzaenallud
Seusai pulang sekolah, Dion selalu
membiasakan diri untuk tidur siang
beberapa jam, untuk kemudian, ia
baru bisa bermain sebentar dengan
teman-teman di sekitar rumahnya.
Ada taman berukuran cukup besar
disana, jika sore hari tiba, banyak
anak-anak seumurannya yang
bermain-main dengan riang
gembira. Ada yang gemar bermain
lompat tali dan juga sepeda.
Belakangan ini banyak anak-anak
yang sedang menggemari bermain
sepeda. Ada yang sudah mahir
mengendarai sepeda hanya dengan
dua roda, ada juga yang beroda tiga,
atau bahkan beroda empat. Sepeda
yang mereka gunakan juga
berwarna-warni, sesuai dengan
kegemaran mereka masing-masing.
Lalu Dion belakangan menjadi agak
murung, karena dari sekian anak
yang memiliki sepeda, hanya ia yang
tidak memiliki kendaraan tersebut.
“Dion, kamu mau boncengan
denganku? Yuk, kita berputar-putar
dengan sepedaku!” ajak Rafa
memberikan tumpangan. Rafa adalah
sahabat Dion, baik di rumah maupun
di sekolah.
“Terima kasih Rafa, sepertinya aku
lebih baik membantu Ibu menjaga
toko saja.” Tolak Dion dengan
sopan.
“Baiklah kalau gitu, besok kita ke
sekolah dengan sepedaku saja,
besok aku jemput kamu dirumah dan
kita berangkat sama-sama saja ya,”
ucap Dion kembali.
“Oke, Rafa, aku tunggu besok, ya.”
Kata Dion mengiyakan dan segera
kembali ke rumah untuk membantu
Ibu.
Rafa berasal dari keluarga berada,
sedangkan Dion dari keluarga
sederhana. Ayah Dion bekerja
sebagai karyawan swasta di
perusahaan Jakarta, sedangkan Ibu
disamping sebagai Ibu rumah tangga
juga bekerja menjaga toko sembako
sederhana di depan rumah. Dalam
keseharian, Dion sering membantu
Ibu menjaga toko, karena di samping
itu, Ibu juga harus memasak dan
merapihkan rumah.
Saat di kamar, Dion memperhatikan
celengan ayam nya yang terbuat dari
tanah liat. Dion mengangkatnya dan
memastikan bahwa isi dalam
celengan tersebut sudah cukup
penuh.
‘kraakkk! Kraakk!’ bunyi dalam isi
celengan agak riuh terdengar. Ibu
yang kelar memasak, memastikan
asal suara nyaring itu.
“Suara apa itu, Dion?” tanya Ibu
penasaran sembari membuka pintu
kamar Dion.
Dion yang terkejut dengan
kedatangan Ibu, segera menoleh
dengan kikuk. “Oh, Ibu! Aku sedang
mengecek isi celenganku saja, Bu.”
Jawab Dion jujur.
“Bagaimana, apa celenganmu sudah
penuh?” tanya Ibu yang juga
penasaran.
“Sepertinya sudah cukup penuh, Bu,
lumayan berat juga,” jawab Dion
sembari tersenyum senang.
“Belakangan ini kamu makin sering
menabung ya, nak? Bagus, kamu
makin pintar menyisihkan uang jajan
mu.” Puji Ibu dengan bangga.
“Ah, tidak juga, Bu. Seharusnya aku
makin sering menabung ya supaya
isi celenganku makin banyak.” Ucap
Dion agak murung.
“Memangnya apa yang mau kamu
beli, nak?” tanya Ibu penasaran.
Dion terdiam sejenak, ia merasa
sungkan untuk mengatakan yang
sebenarnya kepada Ibu, karena takut
akan menjadi beban pikiran untuk
Ibu dan Ayah.
“Enggak ada kok, Bu.” Ucap Dion
berbohong.
Ibu kemudian menepuk kepala Dion
dengan lembut dan kasih sayang,
“Katakan saja yang sebenarnya,
kamu mau punya sepeda baru kan,
nak?”
Dion tidak menyangka bahwa Ibu
akan bisa menebak isi hatinya. “Kok
Ibu bisa tahu?”
“Ibu selalu tahu apa yang diinginkan
oleh anak-anaknya. Kamu anak yang
baik dan pintar, bagaimana kalau
hari minggu kita ke pasar untuk
membeli sepeda baru?” ajak Ibu
menawarkan kabar bahagia bagi
Dion.
Dion yang terkejut dengan ajakan Ibu
sangat antusias sekali
mendengarnya, “Benarkah, Bu? Tapi
kan uang dari cele
ngan ayamku pasti belum seberapa,
pasti masih enggak cukup untuk bisa
membeli sepeda baru.”
“Jangan pikirkan itu, Ayah dan Ibu
juga diam-diam sudah menyisihkan
uang untuk sepedamu. Yang penting
kan kamu sudah berusaha untuk
menabung dengan giat, itu adalah hal
yang baik, dan harus di pertahankan
ya, nak. Dari tabungan yang sedikit-
sedikit kan lama-lama akan menjadi
bukit, bukan?”
Dion tersenyum bangga dengan Ibu.
Ia peluk Ibu dengan erat, dengan
perasaan bahagia, sembari berkata,
“Terima kasih Ibu. Terima kasih
Ayah!”